Penguasaan Iptek Menjadi Kunci Utama
Lemahnya sistem pendidikan menjadi salah satu faktor rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tengah kemajuan peradaban Barat, kita harus sibuk membenahi sistem pendidikan. Latar belakang pendidikan yang pas-pas diduga kuat membawa implikasi negatif pada cara pandang terhadap syariat Islam. Ajaran Islam Islam yang memiliki cakupan luas, oleh sebagian pihak disempitkan maknanya menjadi “syariat Islam” dan kemajuan peradaban lain dimaki-maki. Sementara ajaran-ajaran yang membawa kesejahteraan umat hampir tidak dikatakan sebagai syariat. Semua problem sosial, pemikiran, dan pola gerakan keagamaan umat yang emosional harus dibenahi melalui pendidikan.Berikut perbincangan Reporter CMM Ian Suherlan dan Yulmedia dengan KH. Dr. Tarmizi Taher, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) beberapa waktu lalu:
Adanya sebagian umat Islam yang menyempitkan ajaran Islam menjadi syariat dan syariat dimaknai sebagai hukum jinayah (pidana). Mengapa demikian?
Itu karena keterbatasan pemikiran yang bermula pada keterbatasan pendidikan atau hanya mempelaari pendidikan sepihak. Kita ingin mengajarkan sains dan teknologi tapi bernapaskan Islam. Anaknya hafiz al-Quran tapi mampu mengaplikasikan itu kepada kehidupan nyata. Sekarang ini banyak sekali umat Islam yang berpikiran sederhana. Jadi pada waktu kita mendengar omongan mereka (tentang ajaran Islam disempitkan menjadi syariat dan jinayah) kita akan berpikir mereka orang bodoh semua. Contoh hujatan yang meminta sistem Khilafah diterapkan kembali agar semua masalah dapat diselesaikan. Demokrasi haram, dan sebagainya.
Jadi, pandangan semacam itu dalam istilah ilmu pemikiran, sangat simplistis (sangat sederhana). Di beberapa tempat orang–orang yang memuja-muja kejayaan masa lalu itu dilarang, karena ini akan membodohi rakyat. Jadi sekarang kita menginginkan seorang pemikir Islam yang dasar agamanya kuat tapi dia bukan ahli agama, dia melihat al-Quran berdasarkan sains dan teknologi itu. Itu yang kini kita ketinggalan. Padahal pada zaman Nabi umat Islam menguasai hal itu.
Mungkin semua itu disebabkan karena sistem pendidikan yang lemah. Bagaimana wajah pendidikan kita dewasa ini, terutama di Malaysia dan di Indonesia?
Ketika saya di Malaysia, saya langsung bertanya pada Bapak Mahatir, dulu guru-guru tingkat SMA diimpor dari Indonesia, tapi sekarang mereka justru jauh di depan kita. Ternyata Malaysia sudah sejak lama meletakkan pendidikan sebagai prioritas APBN-nya (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan itu sudah berjalan dalam pemerintahan. Sebelum menjadi Perdana Menteri seseorang itu harus dijabatkan sebagai menteri pendidikan. Jadi mereka benar-benar membina sistemnya, anggaran, dan terakhir praktiknya dicoba selama satu periode. Kita bisa melihat para Perdana Menteri Malaysia merupakan orang-orang yang berhasil menjadi menteri pendidikan. Indonesia tidak punya sistem. Menteri yang punya kinerja yang baik, tapi tim penilainya tidak ada.
Sejauh yang Bapak amati bagaimana basis dan pembelajaran agama selama ini?
Menurut saya pendidikan agama itu tidak mengkin kita peroleh di sekolah saja. Oleh karena itu, sekolah–sekolah yang berbasiskan sains dan teknologi dan taman baca Al-Quran harus diberikan asrama. Jadi kita selama ini membuat sekolah yang berasrama itu hanya pesantren. Sekarang ada perkembangan yang cukup menggembirakan, mahasiswa sekolah-sekolah umum memberikan fasilitas asrama seperti pesantren dan itu bukan anak IAIN melainkan fakultas kedokteran, teknik dan sebagainya.
Bagaimana program ke depan dalam program pemantapan pendidikan Islam?
Kita akan membuat sekolah model, yang unggul dalam bidang sains dan teknologi. Tapi anak ini sebelum umur tujuh tahun sudah hafal al-Quran, jadi anak-anak ini cerdas intelektual, tapi aplikasinya dalam sains dan teknologi. Umat Isam pada awal perkembangan Islam memberi sumbangan yang besar dalam bidang sains dan teknologi seperti Ibnu Sina, ahli-ahli astronomi dan sebagainya.
Di tengah kemajuan peradaban Barat ada sebagian kelompok yang cenderung hanya memaki-maki atau cemburu tanpa ada perubahan?
Menurut saya, kita biarkan saja mereka berteriak-teriak. Apakah mereka yang berkoar-koar itu akan berhasil atau kita yang secara sistematis bisa membangkitkan kembali peradaban Islam di bidang intelektual. Sebenarnya Islam tidak pernah memaki-maki saudaranya. Mari kita tunjukkan rahmat bagi mulianya Islam bukan laknat bagi dunia Islam. Sekarang kita bisa lihat dunia Islam terkoyak-koyak hanya karena perbedaan Syiah dan Sunni.
Apakah sikap reaktif itu ada korelasinya dengan latar belakang pendidikan?
Benar. Orang yang berpendidikan tidak akan menghalalkan segala cara, namun dia akan berusaha terlebih dahulu. Mereka yang berpendidikan tentu saja akan menempuh cara-cara yang beradab, tanpa perlu marah-marah. Cara-cara-cara yang santun saya kira akan memiliki prosfek yang cerah. Semua langkah ke arah yang lebih baik saya kira harus ditempuh dengan cara yang baik. Ini memang perlu waktu yang lama dan kita dituntut agar bersabar dalam merintis masa depan yang lebih baik itu.(CMM)
Lengkap di:
www.cmm.or.id
0 komentar:
Posting Komentar